Total Tayangan Halaman

Minggu, 14 Juni 2015

Kemahasiswaan, Keprofesian, dan Kaderisasi


Bermula dari sebuah tugas…

Ya, ini semua bermula dari sebuah tugas. Sebuah tugas untuk mewawancarai beberapa senior kami mengenai beberapa materi. Wawancara, yang mungkin sedikit menjurus ke bentuk kajian, ini, cukup membukan pikiran saya dan merangsang otak saya untuk berpikir lebih kritis. Tentu saja saya belum bisa mengatakan bahwa saya adalah orang yang berpikiran terbuka dan kritis. Hanya saja, saya benar-benar mengakui bahwa budaya kajian (atau diskusi) di ITB dan HIMATEK ini sangat baik dan merupakan salah satu cara penyebaran ilmu dan nilai yang baik.
Singkat saja, sebenarnya saya dan teman-teman saya mewawancarai senior-senior kami, yaitu M. Pramaditya Garry H. (Teknik Material 2011)  selaku Ketua Kabinet KM-ITB 2015/2016, Aditya Putra Pratama (Teknik Kimia 2011) selaku mantan Kadiv Keprofesian BP HIMATEK 2014/2015, dan Pranidhana mahardhika (Teknik Material 2011) selaku Menko PSDM Kabinet KM-ITB 2015/2015 (belum dilantik) dan manta Ketua BP MTM 2014/2015. Orang-orang ini adalah orang-orang yang hebat dengan pengetahuan yang luas dan pikiran terbuka. Saya bersyukur bisa berdiskusi dengan mereka.
Oke, langsung saja. Jadi, apa sih yang kami perbincangkan? Topik diskusinya tidak jauh-jauh dari kemahasiswaan, keprofesian, dan kaderisasi. Ohya, karena artikel kali ini sepertinya akan cukup panjang, saya tidak akan menggunakan bahasa yang terlalu formal dan berbelit-belit (karena saya pun tidak mampu J) dan struktur yang terlalu kaku. So, let’s start and enjoy it!

Kemahasiswaan menurut kang Garry

Sore itu, kang Garry memulai diskusi kami dengan bertanya, “Who are you?” pertanyaan yang cukup sulit menurutnya. Bahkan beliau pun masih belum bisa menjawab pertanyaan ini dengan baik. Ada berbagai cara untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan itu. Pertama, kenali teman-teman terdekat, ketahui bagaimana orang lain mengenal kamu (misalnya, “Oh, Garry yang taplok?” atau “Garry KM?”) dan tanyakan pada orang tua. Sekarang, coba tanyakan pada orang-orang di sekitar kamu, siapakah diri kamu menurut mereka?
Well, semua julukan yang ditujukan kepada kita para mahasiswa, biasanya berkaitan dengan prestasi dan kegiatan kita selama menjadi mahasiswa. Misalnya saja, pernyataan-pernyataan sebagai berikut,
“Si X yang punya IP 4,00”
“Si X yang kemarin menang lomba Safety UGM itu kan?”
“Oh, itu X yang kemarin menginisiasi adanya ITB in move, bukan?”
“Anak MBWG dia”
“Si X yang HIMATEK kan?”
“Dia itu kadiv pengabdian masyarakat himpunan Y lho”
“Itu lho yang sering nongkrong di sekre himpunan”
Dan masih banyak lagi. Jadi, orang-orang mengenal kita dengan adanya prestasi-prestasi atau kegiatan kita sebagai mahasiswa. Hal ini lah yang membuat kita sebagai seorang mahasiswa. Seorang mahasiswa tanpa tindakan atau kegiatan, bukanlah seorang mahasiswa. Jadi, apa itu kemahasiswaan? “Kemahasiswaan adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh mahasiswa. Kegiatan-kegiatan ini akan berhenti dan mencapai tujuannya ketika seorang mahasiswa telah lulus dari Perguruan Tinggi.” Kata Kang Garry.
Yang menjadi permasalahan di sini adalah kenapa ada kemahasiswaan. Pak Hatta mengatakan bahwa Perguruan Tinggi adalah wadah pengembangan insan akademis, untuk berfikir dan bertindak berdasarkan asas keilmuan, dan bagi orang-orang yang menyala hati nuraninya. Jadi, seharusnya segala kegiatan kemahasiswaan itu ada untuk  mengembangkan insan akademis agar berfikir dan bertindak berdasarkan asas keilmuannnya dan untuk menjadikan mereka sebagai pribadi yang menyala hati nuraninya.
Ada suatu perkataan Danlap OSKM beberapa tahun lalu yang dikutip oleh kang Garry, yaitu
“Nak, kalau kamu jadi seorang mahasiswa, jadilah orang yang terang nuraninya dan cakap keilmuannya”. Maksudnya adalah, seorang yang redup nuraninya tapi cakap keilmuannya akan menjual negaranya sendiri, tapi orang yang terang nuraninya tapi tidak cakap keilmuannya akan terbeli oleh orang asing. Jadi, kegiatan-kegiatan kemahasiswaan seharusnya juga dapat menyalakan hati nurani seseorang
Pemikiran pak Hatta kemudian menghasilkan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang dapat kita kelompokkan sebagai pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Akan tetapi, Tri Dharma Perguruan Tinggi yang diterapkan oleh mahasiswa masih banyak yang merupakan pencitraan semata. Contohnya adalah pengabdian masyarakat. Banyak contoh-contoh pengabdian masyarakat yang dilakukan tidak tepat sasaran dan merupakan suatu pencitraan atau pemenuhan tugas-tugas saja. Hal ini merupakan suatu kemunduran. Hal yang perlu kita benahi adalah pola pikir sendiri. Seharusnya pola pikir mahasiswa dapat disamakan (dalam satu bingkai yang sama) dengan elemen-elemen perguruan tinggi lainnya.

Pergerakan mahasiswa dari masa ke masa

Pergerakan mahasiswa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu eksternal dan internal. Kegiatan internal dapat berupa kegiatan pendidikan, penelitian, dan kajian. Kegiatan eksternal sendiri adalah kegiatan yang biasa kita artikan sebagai kegiatan-kegiatan yang membawa mahasiswa untuk berkarya di luar kampus, misalnya pengabdian masyarakat dan aksi turun ke jalan. Menurut kang Garry, pergerakan mahasiswa yang eksternal itu sendiri telah membuat mahasiswa menjadi instrumen dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Bagaimana contohnya? Untuk menjelaskan hal ini, kita akan membagi masa pergerakan mahasiswa menjadi empat bagian, yaitu tahun 45, tahun 66, tahun 98, dan 2015-2018.
Pada tahun 45, terdapat dua pihak yang berseteru yaitu pihak Jepang dan Sekutu. Mahasiswa pada zaman itu sendiri memanfaatkan (menunggangi) sekutu agar bebas dari jajahan Jepang.
Pada tahun 66, terdapat dua pihak yang berseteru pula, yaitu TNI AD dan PKI. Mahasiswa bekerja sama dengan TNI AD untuk menggulingkan Soekarno.
Sedangkan pada tahun 98, terdapat dua piha yang berseteru, yaitu pihak yang pro Soeharto dan kontra Soeharto. Mahasiswa menunggangi pihak yang kontra Soeharto untuk menurunkan Soeharto dari jabatannya.
Tahun 2015-2018? Ini adalah massa yang akan kita hadapi saat ini. Bagaimanakan sikap mahasiswa pada permasalahan-permasalahan yang ada saat ini?
Mahasiswa sebagai instrumen. Mungkin hal ini benar, tapi sebagian. Apabila kita melihat aksi-aksi mahasiswa pada masa-masa sebelumnya, mahasiswa bukan hanya sebagai instrumen, tapi mahasiswa sebagai motor pergerakan. Kita dapat melihat mahasiswa sebagai salah satu elemen yang memiliki suara dan dapat bertindak menurut pendapatnya sendiri. Mahasiswa merupakan suatu elemen masyarakat yang bertindak independen dan oleh karenanya mampu membaca peta besar politik dari segi positif. Mahasiswa dapat menentukan pihak mana yang lebih baik, itulah sebabnya pihak yang didukung mahasiswa biasanya menang J
Akan tetapi zaman saat ini berbeda dengan zaman yang dulu. Dulu, masyarakat tidak dapat menyuarakan suaranya (mengingat tekanan militer dan antek-antek pemerintah). Sehingga adanya aksi mahasiswa telah dapat menyuarakan suara masyarakat terutama masyarakat kalangan bawah. Ya, pergerakan mahasiswa dulunya bertujuan untuk mewujudkan cita-cita rakyat dan mengingatkan pemerintah akan keadaan saat itu.

Bagaimana keadaan saat ini?

Ada suatu teori mengenai pemerintahan, dimana pemerintahan bergerak menuju suatu era yang baru. Terdapat tiga tahapan pemerintahan, yaitu pre-bureaucratic (masa kerajaan, pemerintahan tidak terpusat), bureaucratic (revolusi pemerintahan, pemerintahan terpusat), dan post-bureaucratic (transparansi, pilihan, akuntabilitas). Pergerakan ini didorong oleh cepatnya arus informasi. Pada tahap post-bureaucratic informasi yang ada tersebar begitu cepat dan transparan sehingga masyarakat dapat menentukan pilihannya sendiri dan terdapat pertanggungjawaban oleh pemerintah terhadap sistem yang ada.
 Indonesia berada pada masa transisi antara bureaucratic dan post-bureaucratic. Artinya masyarakat sudah mulai dapat menerima informasi dengan cepat dan dapat menentukan pilihannya sendiri. Sikap mahasiswa yang turun ke jalan saat ini, apabila berlebihan ditakutkan dapat memisahkan masyarakat dengan pemerintah. Padahal, pemerintah saat ini sedang memberikan hak yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berbicara. Jadi, seharusnya pergerakan mahasiswa pada zaman ini diharapkan adalah pergerakan yang dapat membantu pemerintah dan sistem yang ada untuk mencapai tahap post-bureaucratic.
Satu saran lagi bagi mahasiswa, ilmu sosial dan politik merupakan sesuatu yang juga penting karena dari sinilah mahasiswa dapat menilai dan menentukan sikapnya kepada sistem yang ada. Akan tetapi, tugas utama mahasiswa juga tidak dapat dilupakan. Pada akhirnya semua harus seimbang, bukan? Mahasiswa memang harus bergerak, tapi jangan hanya mempermasalahkan metodenya saja, buktikan!

Lalu, bagaimana cara membuktikannya?

Sebenarnya ada banyak cara untuk melaksanakan pergerakan mahasiswa. Aksi ke jalan, berhimpun, melakukan kajian, dan bahkan mengembangkan keilmuannya sendiri. Seperti yang kita tau, asas dari suatu Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) adalah keprofesian, maka kita tentu dapat mengembangkan keprofesian itu sendiri. (Berhimpun sekalian mengembangkan keprofesian, 2 burung 1 batu bukan?)

Keilmuan, Keprofesian?

Apa sih perbedaan antara keilmuan dan keprofesian? Begini nih kata kak Adit.
Keilmuan adalah ilmu-ilmu yang kita pelajari. Kalau di Teknik Kimia, contohnya adalah Hukum Termodinamika I, Teknik Reaksi Kimia, dan sebagainya. Sedangkan Keprofesian? Keprofesian adalah pengaplikasian keilmuan yang kita pelajari ke dalam dunia nyata. Jadi, sebenarnya keprofesian dan keilmuan itu tidak dapat dipisahkan lho. Semakin baik keilmuan kita makan akan semakin baik pula keprofesiannya.
Tapi realita yang ada saat ini adalah mahasiswa (terutama tingkat 2 dan tingkat 3) tidak memahami kegunaan dari ilmu-ilmu yang sedang mereka pelajari saat ini. Alhasil, kebanyakan mahasiswa hanya belajar untuk mengincar nilai yang baik saja. Banyak yang masih belum berusaha untuk mengerti ilmu-ilmu (teori yang ada) itu sendiri. Akibatnya? Banyak mahasiswa yang tidak mencintai keilmuan yang sedang dipelajarinya. Padahal dengan mencintainya, kita dapat melihat kehebatan-kehebatan yang ada. Kita akan menjadi lebih peka akan permasalahan-permasalahan yang ada.
Salah satu hal buruk yang terdapat pada mahasiswa jaman sekarang adalah kurangnya perencanaan masa depan. Memang benar bahwa manusia hidup di saat ini, akan tetapi kita tentu butuh suatu target untuk dicapai. Kurangnya perencanaan ini juga sangat mungkin disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mahasiswa tentang keilmuan dan keprofesian itu sendiri. Memang cara yang terbaik untuk mengetahui keprofesian itu adalah bertanya… seperti yang tertulis di monumen Plaza Widya Nusantara:
supaya kampus ini menjadi tempat anak bangsa menimba ilmu, belajar tentang sains, seni, dan teknologi;
supaya kampus ini menjadi tempat bertanya, dan harus ada jawabnya;
supaya kehidupan kampus ini mmebentuk watak dan kepribadian;
supaya lulusannya bukan saja menjadi pelopor pembangunan, tetapi juga pelopor persatuan dan kesatuan bangsa.
Maka mahasiswa harus bertanya, bertanya kepada dosen, mahasiswa tingkat atas, teman seangkatan, adik tingkat, kepada siapapun yang bisa memberikan jawaban. Ya, mahasiswa sebaiknya bertanya dan berdiskusi mengenai kehidupan yang akan segera ia jalani.
Berbicara mengenai keprofesian, ada baiknya bila kita juga membicarakan mengenai kolaborasi antar ilmu (interdisiplin). Kenapa kita harus berkolaborasi? Suatu industri tidak dapat berdiri hanya oleh suatu disiplin ilmu. Misalkan untuk membangun suatu pabrik, kita harus mengukur laju alir fluidanya, tapi untuk mengukur laju alir itu kita membutuhkan suatu sensor, yang dibuat oleh anak mesin dan elektro. Tidak mungkin suatu industri dapat berjalan tanpa adanya kerja sama antar ilmu. Oleh sebab itu, pada saat ini pun kita dapat melatih berbagai skill untuk bekerja sama dengan jurusan lain. Tapi untuk melaksanakan kolaborasi ini tentunya dibutuhkan komitmen dan profesionalisme.

Kaderisasi menurut kang Dhika

Sebelum membahas kaderisasi, ada baiknya kita membahas mengenai makna dari berhimpun. Tidak usah muluk-muluk, kalau menurut saya sendiri, berhimpun adalah suatu kegiatan dimana orang-orang yang memiliki tujuan dan keinginan yang sama saling berbagi dan tolong menolong untuk mencapai tujuannya. Menurut kak Adit, makna berhimpun itu sendiri adalah mengenal dan mengerti hal-hal di sekitar kita. Suatu penegasan dari ketua BP HIMATEK 2015-2016, Rhesa Avila Zainal, himpunan itu ada untuk memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya, akan tetapi anggota-anggota juga ada untuk memenuhi kebutuhan himpunan. Ada begitu banyak hal yang bisa kita dapatkan dalam berhimpun, mulai dari budaya, ilmu dan pengalaman berorganisasi, hingga jaringan pertemanan. Sayangnya semua itu tidak bisa didapat tanpa adanya usaha timbal balik dari anggota himpunan dan himpunan itu sendiri. Tantangannya adalah bagaimana membuat anggota himpunan sadar akan hal ini? Adanya kaderisasi menjawab tantangan ini.
Lalu, kaderisasi itu apa sih? Kaderisasi itu adalah suatu proses penurunan nilai-nilai yang berfungsi untuk menghilangkan gap antar anggota baru dan anggota lama dengan metode pengajaran dan pendidikan. Di dalam suatu himpunan ada nilai-nilai yang harus dimiliki oleh seorang anggota, atau bisa juga kita sebut sebagai profil anggota baru. Biasanya profil yang dimiliki itu beririsan dengan budaya-budaya yang dimiliki oleh Himpunan itu sendiri. Anggota baru dan anggota lama pasti memiliki gap, dan gap yang dimaksud disini ada berbagai macam. Gap dalam budaya, pengenalan, ilmu pengetahuan, cara berpikir, dan kekeluargaan.
 Kita pun dapat mengambil kesimpulan bahwa kaderisasi merupakan salah satu proses pengajaran atau pendidikan. Artinya, kaderisasi adalah suatu hal yang mulia. Proses kaderisasi akan menanamkan nilai dan budaya yang baik kepada orang lain. Akan tetapi, ada sedikit perbedaan antara pengajaran dan pendidikan. Gampangnya seperti ini, dalam proses mengajar kita memberitahukan bahwa seorang manusia makan tiga kali sehari. Akan tetapi dalam proses mendidik, seseorang diberi pemahaman bahwa seorang manusia makan tiga kali sehari, dan mengapa. Jadi, metode yang sebaiknya digunakan adalah mendidik. Karena dengan metode ini, nilai-nilai dan profil yang akan dimiliki oleh anggota baru akan bertahan lebih lama karena mereka mengerti, bukan hanya tau.
Kaderisasi memang bergantung terhadap materi dan metode yang akan diberikan, tapi ternyata keberhasilan dari suatu kaderisasi juga ditentukan oleh input anggota baru. Mengapa? Karena yang akan diubah dalam kaderisasis adalah pola berpikir seseorang. Lalu, apakah lama kaderisasi dapat menentukan output yang dihasilkan? Untuk menjawab permasalahan ini, kang Dhika menceritakan kepada kami mengenai sistem pendidikan yang ada di Finlandia.
Sistem pendidikan di Finlandia dikabarkan sebagai sistem pendidikan terbaik di dunia menurut versi PISA. Mengapa demikian? Ternyata terdapat suatu prinsip yang berbeda yang dianut oleh Finlandia dibandingkan dengan negara lain. Prinsip tersebut adalah “Less is more”. Masyarakat di Finlandia melakukan sesuatu cukup seperlunya saja, begitu juga dengan belajar. Waktu mereka untuk belajar relatif lebih sedikit, yaitu 6 x 45 menit setiap harinya dengan adanya istirahat 15 menit di setiap 1 jam belajar. Mereka belajar seperlunya saja. Lalu apa yang membuat sistem pendidikan mereka terbaik? Ternyata terdapat pada pengajar mereka. Guru yang ada di dalam kelas ada dua dan masing-masing memiliki tugas yang berbeda (sebagai pemberi materi dan sebagai pengamat efek kognitif dll), dan guru (wali kelas) ini akan tetap sama walaupun mereka telah naik kelas. Mengapa demikian? Rupanya guru yang tetap sama ini bertujuan untuk pemantauan dan evaluasi yang berkelanjutan. Selain itu terdapat interaksi dari hati ke hati antara guru dan murid. Ya, rupanya masyarakat Finlandia lebih mementingkan interaksi antar warganya.
Jadi, bila kita harus belajar dari masyarakat Finlandia, kita tahu bahwa waktu belajar tidak harus lama asalkan ada interaksi dari hati ke hati antara pendidik dan murid. Tapi mungkin permasalahan ini masih kurang relevan bila dibandingkan dengan kaderisasi. Sebaiknya kita membahas kaderisasi yang ada pada himpunan mahasiswanya bukan?
Menurut teman-teman, berapa lama waktu yang dibutuhkan kaderisasi himpunan di Finlandia? Tiga bulan? Satu bulan? Dua minggu? Ternyata hanya empat hari teman-teman. Lalu, apa saja yang dilakukan dalam proses kaderisasi ini? Tujuan dari kaderisasi ini adalah orientasi atau pengenalan. Berikut kegiatan mereka setiap harinya:
Hari I      : welcoming party, acara pengakraban, kekeluargaan
Hari II    : olah ruang, pengenalan letak ruang kuliah, ruang dosen, aula, dll
Hari III   : pengenalan staff akademik
Hari IV   : sharing kakak dan adik mengenai tips & trick.
Lalu kapan adanya pembentukan pola pikir? Jawabannya tidak ada. Pola pikir mahasiswa tidak lagi dibentuk, mengapa? Karena pola pikir mereka telah dibentuk semenjak mereka duduk di pre-school sampai high school.
Tapi hal ini memang masih belum relevan dengan realita yang ada di Indonesia. Pengajaran pola pikir dari mahasiswa yang dibentuk pada saat sekolah masih belum diberikan. Saat ini masih belum ada penanaman ataupun pengembangan karakter pada sistem pendidikan di Indonesia (hasilnya belum terlihat). Jadi, mau tidak mau, kaderisasi yang ada masih harus terus dicari sistem yang terbaiknya.
Berbicara mengenai metode kaderisasi, banyak mahasiswa yang masih tidak setuju dengan adanya metode-metode seperti agitasi. Setelah berbincang dengan kang Dhika, saya sendiri pun membuka pikiran saya. Metode semacam agitasi dapat kita sebut sebagai metode pedagogi, terdapat perbedaan kedudukan antara pendidik dan murid, yaitu atas bawah. Metode ini digunakan karena kurangnya waktu yang dimiliki untuk memberi materi. Metode ini dinilai lebih efektif karena manusia “dipaksa” menerima materi dalam keadaan tertekan atau lelah. Selain metode pedagogi, terdapat metode andragogi. Metode ini menganut kesetararaan antara pendidik dan murid dan jenis interaksi yang digunakan adalah diskusi dan sharing. Kedua metode ini baik adanya, bergantung pada kebutuhan kita sebagai pemberi materi.
Cara yang sebaiknya dilakukan menurut kang Dhika? Sedikit waktu untuk pedagogi dan andragogi untuk waktu yang lama. Metode andragogi dilanjutkan secara bertahap tentu saja.
Selain hal di atas, ada beberapa menarik yang disampaikan kak Dhika mengenai pola pikir ITB. Pola pikir yang ada di ITB adalah pola pikir yang jadul, sementara jaman sudah berubah menuju jaman post-modern. Pola pikir seperti ITB adalah institut terbaik bangsa masih diterapkan. Pola pikir ITB yang ada saat ini adalah basis hasil (outcome base). Sayangnya, sistem yang ada di dalam ITB sendiri tidak diubah mengikuti perubahan basisnya. Hal ini menimbulkan permasalahan-permasalahan baru di dalam sistem pendidikan ITB sendiri.
Indonesia sendiri telah tertinggal satu langkah yang cukup besar dari Amerika dalam bidang pendidian. Pada saat ini, proses pendidikan di Amerika menitikberatkan pada pengembangan karakter sementara Indonesia menitikberatkan pada bidang riset. Wah, kebalikan dong? Ternyata, proses pendidikan ini adalah sebuah siklus. Amerika telah melewati tahap riset dan telah kembali lagi pada tahap pengembangan karakter, karena saat ini Amerika menyadari bahwa individu-individu mereka bertindak sangat liberal. Negara kita masih dalam tahap riset, tapi bagaimana pandangan teman-teman sekalian mengenai pengembangan karakter yang ada di Indonesia?
Pengembangan karakter yang ada di Indonesia yang masih belum jelas keberlangsungannya (bisa dikatakan masih belum menemukan titik stabilnya) akan tetapi masyarakat dan mahasiswa menyadari akan pentingnya dunia keprofesian. Akibatnya, mahasiswa dan masyarakat menitikberatkan fokus mereka pada bidang keprofesian, yaitu menghasilkan banyak sarjana. Padahal kita masih belum siap, akibatnya proses pembentukan ini berkepanjangan dan tidak jelas kemana arahnya. Mungkin kami masih belum bisa memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan yang ada ini.
Akhir kata, kajian itu sangat menarik. Wawancara ini telah memacu saya untuk berpikir lebih kritis sebagai mahasiswa dan mendorong saya untuk berkarya lebih baik. Bila ada yang ingin ditanyakan, atau ingin memberikan komentar dan saran, silahkan menghubungi ketiga orang di atas, atau hubungi saya melalui dessi.xiia6.7@gmail.com J


Tidak ada komentar:

Posting Komentar